Jakarta, INFODIS.ID – Gemerlap box office seringkali menyoroti film-film dengan penonton jutaan, namun di baliknya, tersembunyi narasi lain yang tak kalah penting: kisah tentang film-film yang harus berjuang di tengah kesunyian bioskop. Sepanjang 2024, data penonton mencatat sejumlah karya film Indonesia yang hanya disaksikan oleh ratusan hingga ribuan pasang mata, menciptakan sebuah “klub eksklusif” yang pilu.
Berikut adalah lima film yang menduduki puncak tangga lagu kesepian box office Indonesia 2024, sebuah potret yang mengundang tanya tentang selera penonton, strategi pemasaran, dan keberanian berkarya.
- “Putri Bintang Lima”: Mantra Nama Besar yang Tak Mempan
Di urutan teratas, atau bisa disebut yang paling sepi, terdapat “Putri Bintang Lima”. Film ini hanya berhasil menarik 673 penonton untuk datang ke bioskop. Ironisnya, film ini justru mengandalkan nama besar aktor senior ternama, Roy Marten . Fakta ini menjadi tamparan keras bagi anggapan bahwa “star power” selalu menjadi jaminan kesuksesan. Kegagalan film ini membuktikan bahwa tanpa strategi pemasaran yang tepat dan cerita yang relevan, magnet nama besar pun bisa kehilangan daya tariknya di mata penonton modern.
- “Sun Tree”: Puisi Visual yang Terlupakan di Gedung Bioskop
Berselisih tipis di posisi kedua, “Sun Tree” harus puas hanya dengan 715 penonton . Film ini, seperti yang digambarkan oleh beberapa pengamat, mungkin merupakan karya yang penuh dengan nilai artistik dan metafora mendalam. Namun, rupanya elemen-elemen puistik tersebut tidak cukup menjadi daya pikat utama bagi masyarakat yang datang untuk mencari hiburan di akhir pekan. “Sun Tree” menjadi bukti betapa sulitnya film bertema berat atau eksperimental untuk bersaing di pasar mainstream.
- “The Torture”: Horor Ekstrem yang Ditakuti Pasar
Menduduki urutan ketiga, “The Torture” dengan konsep horor “beranak dalam kubur” berhasil membuat merinding—sayangnya, bukan hanya penonton, tetapi juga mungkin para distributor. Film yang dianggap terlalu ekstrem ini hanya ditonton oleh 970 orang. Angka ini menyiratkan sebuah pertanyaan: sejauh mana pasar Indonesia menerima konten horor dengan tingkat grafis dan psikologis yang tinggi? “The Torture” mungkin menjadi korban dari batas toleransi penonton terhadap genre horor yang terus berevolusi.

- “Cinta dari Timor”: Cerita Cinta Nusantara yang Tak Tersampaikan
Di posisi keempat, “Cinta dari Timor”* hadir dengan misi mulia: mengangkat romansa dari Indonesia Timur. Sayang, antusiasme penonton tidak sebesar niat baiknya. Film ini hanya menyedot 1.116 penonton. Meski berhasil mengalahkan film horor ekstrem di atas, angka ini tetap mengecewakan. Film ini menjadi studi kasus bagaimana film dengan lokalitas spesifik dan tanpa bintang besar membutuhkan strategi promosi yang sangat spesifik dan agresif untuk menembus kesadaran publik nasional.
- “Roman Peony”: Romansa Tulus yang Tenggelam dalam Diam
Menutup daftar ini adalah “Roman Peony” di urutan kelima dengan 1.336 penonton. Sebuah film romantis yang digarap tanpa mengandalkan bintang papan atas dan didukung oleh promosi yang terbatas. “Roman Peony” adalah representasi dari banyak film independen yang lahir dengan cerita tulus, namun harus berjuang menghadapi hiruk-pikuk persaingan di bioskop yang didominasi oleh film-film berbudaya besar.
Sebuah Refleksi di Balik Data
Lima film ini bukan sekadar angka statistik. Mereka adalah cermin dari dinamika industri film Indonesia yang kompleks. Kesuksesan sebuah film tidak lagi hanya bergantung pada bintang, genre, atau bahkan kualitas cerita semata, tetapi pada sebuah ekosistem yang meliputi strategi pemasaran digital, kekuatan distribusi, timing penayangan, dan resonansi cerita dengan zeitgeist (semangat zaman) masyarakat.(ery)
