Alasannya ganti rugi harus melibatkan masyarakat secara terbuka dan tim appraisal harus lembaga akuntabel.
“Faktanya proses ganti rugi ini, dilakukan dengan narasi tekanan. Seperti ungkapan nilai appraisal yang sudah tinggi, dan kalau tidak mau maka warga tidak akan mendapatkan harga yang sesuai, dan uangnya akan dititipkan ke pengadilan,” jelas Dimas SH.
Nilai ganti rugi yang ditetapkan tim appraisal permeter Rp 13 juta, namun warga minta Rp 35 juta permeter dengan dasar bangunan rumah mereka besar dan bertingkat.
“Karena tidak ada kejelasan ganti rugi sebenarnya kepada masing-masing penerima dan tim appraisal tidak kompeten karena tidak ada alamatnya serta cuma satu tim appraisal saja serta tidak ada rujukan informasi cara menghitung yang diterima warga maka kita menolak,” urai Dimas yang mengaku warga akan tetap mempertahankan hak milik meskipun ada eksekusi. (red)
sumber : zonajatim.com