3 Mei 2024
INFODIS.ID
HeadlineIndeks BeritaINFO BISNISINFO NASIONAL

Lonjakan Harga Pangan di Tengah Bangkitnya Ekonomi Nasional

Surabaya, Infodis.id – Berbagai lembaga internasional telah menyampaikan “ramalan” buruk terkait prospek perekonomian global. Kontraksi pertumbuhan ekonomi di berbagai negara yang akan memicu terjadinya resesi global menjadi semakin tak terhindari.

Pasalnya, lonjakan harga berbagai komoditas yang terjadi saat ini menekan daya beli masyarakat. Artinya, konsumsi rumah tangga, yang merupakan penopang pertumbuhan ekonomi berbagai negara, diproyeksi mengalami perlambatan pertumbuhan.

Terkait kondisi ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menandaskan, potensi kenaikan harga pangan global hingga 20 persen menuju akhir 2022.

“Harga pangan dunia melonjak hampir 13 persen pada bulan Maret 2022. Ini juga mencapai level tertinggi baru dan kemungkinan akan naik lebih jauh,” kata Sri Mulyani beberapa waktu lalu.

Eks Direktur Pelaksana Bank Dunia itu mengatakan, saat ini seluruh dunia menyaksikan peningkatan yang mengkhawatirkan dalam kelaparan global.

Perang di Ukraina dan memburuknya pembatasan ekspor memperparah dampak pandemi Covid-19 yang mengakibatkan ketidaksesuaian permintaan pasokan dan gangguan pasokan.

“Mendorong harga pangan ke level tertinggi,” ucap Sri Mulyani.

Tantangan terhadap ekonomi global, sambung dia, kemungkinan akan terus berlanjut sehingga harga pangan tetap tinggi di masa mendatang.

“Situasi saat ini pada tahun 2022 diproyeksikan akan semakin memburuk dan ini bukan kabar baik bagi kita semua,” ungkap dia.

Sri Mulyani mengungkapkan, Covid-19 yang belum terselesaikan serta perang di Ukraina kemungkinan akan memperburuk kerawanan pangan akut pada 2022 yang sudah parah.

Selain itu, krisis pupuk yang mengancam juga berpotensi memperburuk dan memperpanjang krisis pangan, bahkan hingga 2023 dan seterusnya.

“Ada urgensi di mana krisis pangan harus ditangani,” kata perempuan kelahiran Bandarlampung itu.

Bendahara Negara mengingatkan agar pengerahan semua mekanisme pembiayaan yang tersedia segera dilakukan untuk menyelamatkan nyawa dan memperkuat stabilitas finansial dan sosial.

Pengaruh ke industri lokal

Inflasi global yang berimbas pada kenaikan harga pangan dan energi tentunya juga mulai dirasakan pelaku usaha di Tanah Air. Khususnya komoditas bahan baku impor, diketahui sudah mengalami kenaikan.

Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa impor bahan baku atau penolong tumbuh 33,95% ke US$14,66 miliar pada bulan Mei dibandingkan tahun sebelumnya. Bahan baku memiliki proporsi paling besar dalam impor barang Indonesia.

Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Jawa Timur, Tjahjono Haryono mengatakan, banyak hal yang mempengaruhi sejumlah komoditas pangan mengalami kenaikan.

Selain karena inflasi, juga pembatasan ekspor pangan oleh sejumlah negara, serta kenaikan tarif angkutan laut (kapal) yang dilakukan oleh perusahaan besar pelayaran dunia.

“Kenaikan tarif angkutan bahkan disinyalir bisa mencapai 1000 persen. Ini sangat berdampak pada harga produk yang masuk Tanah Air,” ungkap Tjahjono.

Dia mencontohkan, harga kentang impor dalam tahun ini sudah mengalami kenaikan sebesar 30 persen. “Setiap pengapalan harga selalu naik. Kami sendiri tak bisa memprediksi sampai kapan kenaikan ini terjadi,” tandas Tjahjono yang juga Presiden Direktur PT Pangan Lestari ini.

Dia sendiri tak bisa berbuat banyak atas kenaikan harga ini, mengingat selama ini kentang lokal masih belum bisa menggantikan peran kentang impor untuk pasokan kentang beku untuk usaha kafe, restoran dan hotel.

“Belum lagi pengusaha juga dihadapkan kenaikan bahan baku lainnya, seperti gandum, daging, minyak goreng, hingga elpiji,” kata Tjahjono.

Di sisi lain, lanjut dia, pengusaha food and beverage tak bisa secara langsung menaikkan harga jual produk. Pasalnya, mereka baru menapaki membaiknya jumlah pengunjung pasca pandemi.

“Mereka menahan untuk menaikkan harga jual. Yang bisa dilakukan adalah memaksimalkan kapasitas pengunjung,” ungkapnya.

Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman mengatakan, dampak kenaikan harga pangan global sudah terasa sejak tahun lalu. Dampak tersebut semakin parah saat terjadi perang Rusia-Ukraina dan pembatasan ekspor oleh beberapa negara.

“Inflasi (global) cukup besar pengaruhnya pada harga bahan baku yang tinggi, selain itu juga energi dan biaya logistik yang meningkat,” ujarnya.

Meski biaya produksi meningkat, industri sangat berhati-hati untuk menaikkan harga jual produknya. Hal itu karena daya beli masyarakat masih belum pulih. Pengusaha khawatir penjualannya anjlok jika harus menaikkan harga jual produknya.

“Saya dengan beberapa anggota sudah review apakah naik lagi atau tidak. Namun kelihatannya belum semua menaikkan harga, tapi sebagian sudah naik 5% karena sulit dibendung lagi,” ujarnya.

Menurut Adhi, kenaikan harga jual produk sebesar 5% sebenarnya belum menutupi biaya produksi tambahan akibat melonjaknya harga bahan baku. Namun demikian, daya beli dan pasar diperkirakan tidak bisa menoleransi kenaikan harga yang lebih tinggi.

Adhi mengatakan, pabrikan yang terpaksa menaikkan harga jual produknya, sebagian besar merupakan usaha kecil dan menengah karena daya tahannya pendek. Perusahaan besar biasanya masih memiliki stok bahan baku hingga beberapa bulan dan pasokannya menggunakan kontrak jangka panjang.

“Jadi kalau perusahaan besar bisa bertahan sampai akhir tahun (tidak naikkan harga), tapi perusahaan kecil biasanya cash and carry. Jadi begitu (harga) bahan baku naik, langsung berdampak,” ujarnya. (isa)

Related posts

Wali Kota Eri Targetkan Seluruh Aset Pemkot Surabaya Tersertifikasi di Tahun 2022

adminredaksi

Kesempatan Bagi Peserta yang Tidak Lolos SBMPTN, Unusa Sediakan Beasiswa

adminredaksi

Andil Bangun Keamanan Siber, Founder Startup ini Ikut Rumuskan Standard SDM Kriptografi Nasional

adminredaksi